Tuesday 30 July 2013

The Boy in the Striped Pajamas


Judul : The Boy in the Striped Pajamas
Penulis : John Boyne
Tebal : 224 halaman
Penerbit : David Fickling Books

Berlin 1942

When Bruno returns home from school one day, he discovers that his belongings are being packed in crates. His father has received a promotion and the family must move from their home to a new house far far away, where there is no one to play with and nothing to do. A tall fence running alongside stretches as far as the eye can see and cuts him off from the strange people he can see in the distance.

But Bruno longs to be an explorer and decides that there must be more to this desolate new place than meets the eye. While exploring his new environment, he meets another boy whose life and circumstances are very different to his own, and their meeting results in a friendship that has devastating consequences.


Review:
Kesan novel ini beneran kayak cerita anak-anak. Novelnya tipis, narasinya disampaikan oleh anak umur 9 tahun yang suka mengulang-ulang kalimat yang sama, kejadian sehari-harinya sangat sederhana  khas anak kecil. Tapi padahal topiknya serius, mengenai Nazi dan kamp konsentrasinya.

Saya suka dengan kepolosan Bruno yang mempertanyakan hal-hal aneh mengenai kamp konsentrasi. Dari sudut pandang Bruno yang masih kecil saja sudah tampak jelas betapa aneh perlakuan orang tuanya terhadap pembantu mereka yang Yahudi. Tapi Bruno tidak tahu apa itu Yahudi. Baginya, pembantunya itu baik. Baginya, pembantu itu adalah manusia sama sepertinya.

Lalu datanglah Shmuel, anak Yahudi yang kesepian dan tinggal di balik jeruji besi kamp konsentrasi. Hubungan persahabatan kedua anak kecil itu begitu biasa dengan percakapan yang tidak membutuhkan otak untuk mencernanya. Tapi dari percakapan itulah kita tahu bahwa manusia selalu tak pernah puas. Bruno merasa Shmuel beruntung bisa tinggal  bersama banyak keluarga dan anak-anak kecil yang bisa diajak bermain (padahal anak-anak itu tidak bermain, melainkan bekerja rodi). Saya sangat kasihan pada Shmuel yang tidak pernah berkomentar jahat ataupun iri secara terang-terangan atas kehidupan Bruno. Bayangkan saja. Dia mengenakan piyama garis-garis yang tidak pernah dicuci. Ugh!

Dan endingnya... Ternyata! Saya beneran sakit hati dan sedih. Sayangnya, kedua orang tua Bruno tidak pernah tahu apa yang terjadi. Padahal itu poin yang bagus untuk diceritakan. Biar menyesal sekalian dan membenci si Hitler. Lalu mereka memberontak dan apalah gitu. *apa sih??

Tema biasa yang cara penyampaiannya tidak biasa. Unik.

3/5

Catatan : Review ditulis dalam rangka baca bareng BBI bulan Juli dengan tema Historical Fiction.

2 comments:

  1. ini buku dengan ending paling nyesekin deh kayaknya...mana tokohnya anak kecil pulak hikshikshiksss....

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener... endingnya bikin syok. teganya bikin tokohnya anak 9 taun :(

      Delete