Sunday 4 May 2014

The Fault in Our Stars


Judul : The Fault in Our Stars
Penulis : John Green
Tebal : 318 halaman
Penerbit : Penguin Books

Despite the tumor-shrinking medical miracle that has bought her a few years, Hazel has never been anything but terminal, her final chapter inscribed upon diagnosis. But when a gorgeous plot twist named Augustus Waters suddenly appears at Cancer Kid Support Group, Hazel's story is about to be completely rewritten.


Review:
Ini salah satu buku fenomenal lain yang saya tertarik untuk membacanya. Waktu itu, saya lihat rating-nya 4.7 dari 5. Saya sampai nggak percaya sendiri. Memang sebagus apa isi buku ini? Belum lagi banyak yang  suka dengan tokoh utama cowoknya, Augustus Waters (namanya bagus, uy). Jadi, saya pun makin penasaran. 

Ternyata ini kisah remaja bernama Hazel Grace Lancaster (namanya bagus juga!!). Dia punya kanker tiroid  yang sudah bermetastasis ke paru-parunya. Harusnya ia mati muda, tapi sebuah obat Phalanxifor (ini obat khayalan si John Green doang) mampu menekan pertumbuhan si tumor. Dia tidak sembuh, namun ia bisa hidup lebih lama. 

Setiap seminggu sekali Hazel pergi ke klub khusus orang pengidap kanker. Tujuan ibunya supaya Hazel bergaul walaupun Hazel sendiri tidak suka pergi ke tempat itu. Tapi hari itu ada anak baru di klub itu, seorang cowok keren bernama Augustus Waters. Cowok itu baru divonis bebas kanker setelah salah satu kakinya diamputasi. Hazel tertarik pada Gus (nama panggilannya mengingatkan saya pada tokoh tikus di Cinderella, haha...) karena jawaban cowok itu saat ditanya apa yang menjadi ketakutan terbesarnya--Oblivion. Selain itu, anehnya si Gus menatap ke arah dirinya terus-menerus.

“There will come a time when all of us are dead. All of us. There will come a time when there are no human beings remaining to remember that anyone ever existed or that our species ever did anything. There will be no one left to remember Aristotle or Cleopatra, let alone you. Everything that we did and built and wrote and thought and discovered will be forgotten and all of this will have been for naught. Maybe that time is coming soon and maybe it is millions of years away, but even if we survive the collapse of our sun, we will not survive forever. There was time before organisms experienced consciousness, and there will be time after. And if the inevitability of human oblivion worries you, I encourage you to ignore it. God knows that’s what everyone else does.” 

Pada akhirnya mereka saling jatuh cinta. Yang membuat kisah ini unik adalah karena keduanya dan juga teman-teman sekitarnya berada di ambang kematian. Dialog dan percakapan mereka penuh dengan sarkasme dan humor tragis. Dari sini saya bisa melihat kepandaian seorang John Green dalam memahami tokoh-tokohnya. Hazel dan Gus terkesan sangat hidup dan nyata. Hazel yang sinis dan lucu tanpa harus berusaha, Gus yang ambisius dan pandai bicara... Itulah yang membuat saya betah membaca buku ini. 

"I'm in love with you, and I'm not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I'm in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we're all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we'll ever have, and I am in love with you.” 

Sayangnya, saya merasa buku ini tidak memiliki plot cerita. Kalau ditanya apa saja yang terjadi di dalam buku ini, saya bingung menjawabnya. Bahkan sisipan tentang Peter Van Houten juga tidak menarik buat saya. Endingnya sedih dan ironis tapi tidak berhasil membuat saya menangis, padahal saya sangat cengeng dalam membaca buku. Dan saya mengerti kenapa banyak orang menyukai Augustus Waters. Dia sangat blak-blakan dalam menyatakan isi hatinya. Caranya mengungkapkan perasaannya juga sangat unik. Tapi yah... buat saya si Augustus sih biasa saja. 

“Oh, I wouldn't mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.” 

Secara keseluruhan, saya tidak menganggap buku ini sesuai dengan ratingnya. Tapi saya suka sekali dengan dialog-dialog cerdasnya dan juga kalimat-kalimat bagus di buku ini. 

“There are infinite numbers between 0 and 1. There's .1 and .12 and .112 and an infinite collection of others. Of course, there is a bigger infinite set of numbers between 0 and 2, or between 0 and a million. Some infinities are bigger than other infinities. A writer we used to like taught us that. There are days, many of them, when I resent the size of my unbounded set. I want more numbers than I'm likely to get, and God, I want more numbers for Augustus Waters than he got. But, Gus, my love, I cannot tell you how thankful I am for our little infinity. I wouldn't trade it for the world. You gave me a forever within the numbered days, and I'm grateful.” 

3/5

2 comments:

  1. Waaaaw. Jarang aku ngeliat review yang bilang TFiOS biasa aja (high five! sama aku juga) :D
    Menurut aku agak overrated buku ini.. Mungkin karena John Green punya fanbase yang emang udah rabid banget yah,

    ini review TFiOS aku.
    http://pagebypage-sc.blogspot.com/2013/10/the-fault-in-our-stars-john-green_27.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe... iya mungkin pengaruh penulis besar ya... saya juga suka gitu kalo penulis favorit, bukunya dikasi bonus bintangnya :)

      Delete